Kisah dari Bandar Rempah

KOMPAS, 2 Februari 2019

Novel tebal ini baru saja diganjar Kusala Sastra Khatulistiwa 2018, salah satu penghargaan sastra bergengsi di negeri ini. Azhari Aiyub sejatinya bukan nama baru dalam dunia susastra Indonesia. Kumpulan cerpen pedananya, Perempuan Pala juga pernah menjadi nominasi di ajang yang sama pada tahun 2004. Azhari selama ini memang lebih dikenal publik sebagai penulis cerita pendek, yang menyabet penghargaan atau dimuat di berbagai media massa nasional. Novel ini menjadi buah perbincangan lantaran keunikan sekaligus ketekunan Azhari dalam merajut kisah. Beberapa potongan dalam novel ini juga pernah tersiar sebagai cerita pendek di beberapa media massa.

Novel yang mulai dianggit semenjak 2006 ini paripurna menjumpai pembaca setelah lebih dari satu dekade dijahit oleh penulisnya. Masa sepanjang itu dapat dikategorikan cukup panjang dan sia-sia belaka bila hanya menghasilkan karya biasa saja. Namun juga bisa dikategorikan cukup pendek untuk menghasilkan karya besar. Sebagai pembanding misalkan, Gabriel Garcia Marquez menulis judul kanonisnya, One Hundred Years of Solitude selama enam tahun, dimulai tahun 1961 hingga terbit pertama kali dalam bahasa Spanyol pada tahun 1967.

Azhari membuktikan dalam novel ini bahwa satu dekade waktu yang sepadan untuk menghasilkan kisah menakjubkan ini. Novel setebal hampir seribu halaman ini, juga merentang kisah dalam kurun waktu yang terbilang panjang. Ketebalan novel ini berhasil mengalahkan rekor beberapa novel sastra tertebal sebelumnya, Arus Balik setebal 760 halaman, atau Ular Tangga milik Anindita S. Thayf dengan tebal 736 halaman.

Bukan hanya berhalaman paling banyak, Kura-Kura Berjanggut pun membentangkan kisah dengan titimangsa latar cerita yang sangat panjang. Kisah ini berangkat dari dunia rekaan di abab ke-16, kemudian sempat melompat hingga awal abad ke-21, ketika seorang peneliti dari Belanda, Tobias Fuller melacak catatan demi catatan perihal sebuah kitab Kura-Kura Berjanggut.

Kisah panjang Azhari digerakkan oleh sebuah motif pembunuhan Sultan Nurruddin, dari Bandar Lamuri, oleh Si Ujud. Si Ujud sendiri adalah seorang sangkilat, mata-mata yang ditempatkan Sultan Nurruddin di salah satu menara demi mengamati pergerakan kapal pedangang rempah dan perompak yang menguasai lautan. Jauh sebelum menjadi sangkilat, Si Ujud adalah seorang penjelajah hingga kawasan Timur Tengah dan Istamboel untuk belajar. Dalam pengembaraan itulah, kabar bahwa keluarga dan semua penduduk di tempat tinggalnya dibasmi oleh kaki tangan Sultan Nurruddin. Dendam ini kemudian membawanya kembali ke Bandar Lamuri, dan memaksanya merangsek ke barisan kepercayaan Sultan Nurruddin.

Satu motif ini kemudian Azhari timpa dengan beragam kisah dan plot sempalan yang sama-sama kuat. Azhari menyentil pergolakan politik di Istana Darud Dunya, para pedagang rempah, serta komplotan bajak laut yang trengginas dan ganas. Kisah-kisah pendukung Si Ujud ini membuat bangunan kisah dalam novel komplit nan menawan.

Kisah Si Ujud selesai di bagian satu, Buku Si Ujud, yang memakan dua per tiga keseluruhan halaman novel. Sultan Nurruddin berhasil tewas dan dendam Si Ujud terbayar lunas. Tiga abad kemudian seorang peneliti dari Belanda, Tobias Fuller melakukan penelitian perihal beberapa kematian orang Belanda yang tak tercatat oleh pemerintahan Hindia Belanda. Penelitian ini kemudian menyingkap betapa ajaibnya kitab penuh misteri bernama Kura-Kura Berjanggut, yang dipercaya memiliki andil dalam kematian Sultan Nurruddin di bagian satu. Buku catatan ini dimulai 3 Mei 1914 dan ditutup dengan penuh misteri pada tanggal 1 Oktober 1915.

Sedangkan di bagian tiga, Lubang Cacing, adalah bagian yang sebenarnya tidak menjadi bagian pokok cerita Si Ujud. Tetapi memiliki kedudukan untuk menjelaskan beberapa bagian pada dua bagian sebelumnya, sehingga catatan-catatan pelengkap ini penting untuk menutup lubang yang belum sempat ditutupi di bagian satu dan dua.

Semenjak membuka halaman pertama, dunia niskala rekaan Azhari membentang untuk dijelajahi. Di setiap kelokan, Azhari menyisipkan kisah-kisah dan interteks dengan sejarah dan tokoh pada dunia nyata. Dalam novel ini Azhari secara tersirat menyinggung beberapa nama yang memang benar ada dalam sejarah, misalkan Hamzah dari Fansur atau menyenggol tokoh Snouck Hurgronje ketika era kolonialisme Belanda.

Novel ini menjadi pembuktian penting seorang penulis. Masa panjang dalam proses penulisan bukan hanya membuat novel ini kaya akan data, hasil riset penelitian demi membangun novel, juga bagaimana Azhari tekun merangkai cerita. Menilik jumlah halaman yang tebal, akan menjadi bumerang bila kisah-kisah dalam novel sekadar tempelen hasil riset.

Azhari tidak bermaksud menjadikan Kura-Kura Berjanggut sebagai sebuah kumpulan hasil riset belasan tahun, yang perlu dibaca dengan kacamata seorang peneliti. Novel ini adalah fiksi seratus persen. Novel ini adalah dongeng yang enak dibaca pembaca, yang tak butuh bekal pengetahuan sejarah. Penulis adalah pencerita ulung yang membuat pembaca betah membuka hampir seribu halaman, karena kerapian berkisah, jalinan cerita menegangkan, dan misteri yang tak bosan diikuti.

Ini juga menjadi pembeda dari kebanyakan novel yang berangkat dari kejadian sejatinya. Bila kebanyakan novel berusaha mendekonstruksi sejarah, hingga kisah sejarah tampak seolah fiksi. Azhari membalik, kisah yang murni dongeng dalam Kura-Kura Berjangut justru berhasil membuat pembaca turut membayangkan Bandar Lamuri dan Istana Darud Dunya, seolah semua dongeng adalah fakta.

Keberhasilan Azhari berkisah perlu diberi angkatan topi dan apresiasi tinggi. Kesabaran menjahit cerita dengan riset yang sangat kuat tanpa celah, memantaskan Kura-Kura Berjanggut sebagai salah satu novel terbaik sepanjang 2018 dan sebagai nominasi kuat untuk kategori prosa pada Kusala Sastra 2018. Penulis yang pernah dianugerahi Free World Award dari Poets of All Nation (PAN) Belanda ini benar-benar seorang pendongeng ulung, di mana kisah sepanjang hampir seribu halaman, tak sekali pun menumbuhkan rasa bosan. []

Leave a comment