Aroma Sisa

(Majalah Femina, 17-23 Mei 2014)

IMG

Hari memang masih terlalu pagi untuk sebuah perjalanan bus di kota ini. Bangku-bangku banyak tanpa isi. Dari penumpang yang tak seberapa, dua penumpang mengalihkan perhatianku. Lelaki pekerja yang dari wajahnya tampak lelah lembur, duduk di kursi belakang sopir, kakinya mengetuk-ngetuk menyesuaikan irama musik dari earphone. Seorang nenek menenteng kantong belanja duduk membaca koran pagi di bangku belakang. Kacamata plus berantai warna emas menggantung hingga leher belakang.

Aku sengaja melakukan perjalanan pagi, agar lekas datang sebelum Yoshi mengajar keterampilan merangkai bunga ala Jepang, ikebana. Bertemu Yoshi langsung hari ini adalah hal yang kuhindari. Aku tak ingin menyakitinya secara langsung. Berat hati untuk melihat ekspresi kecewanya.

Masih pukul tujuh lebih tiga puluh aku samapi halte. Sepagi ini jalanan kota tampak seperti kota mati. Beberapa restoran baru buka pukul delapan, menurut tanda yang tergantung di pintu. Lampu gas masih menyala. Bangku taman kesepian. Ketika senja, jalanan ini adalah area kencan manis. Di sela-sela gedung tinggi tampak matahari kelelahan. Sisa sinar oranye terpantul romantis, meski lemah. Pun aku dan Yoshi, sering menikmati wafel dengan irisan buah dan es krim vanilla. Di sini! Di bangku tak jauh dari galerinya.

Pernah sekali aku dan dia menghabiskan hari Minggu dengan aktivitas konyol. Dia membawa majalah yang memuat cerita pendek Haruki Murakami, delapan halaman penuh (dia membanggakan penulis Jepang itu). Kami membacanya lebih dari lima kali, dan di tiap pembacaan kami menemukan hal baru untuk diperdebatkan. Memang aneh. Biasanya kuhabiskan minggu, dengan memasak sarapan lalu bermalas-malasan membaca feature koran minggu ringan.

Untung kedai cokelat panas buka. Aku memesan segelas cokelat panas dan sebuah panekuk agar perutku tidak kaku.

Galeri ikebana Yoshi buka pukul sembilan. Marie, asistennya, biasanya datang pukul delapan. Aku bisa menitipkan undangan ini kepada Marie. Lantas lekas pulang sebelum Yoshi datang.

Setahun lalu aku salah satu siswa pelatihan ikebana Yoshi. Yoshi guru ikebana andal dan rendah hati. Usianya tidak beda jauh denganku tapi dewasa dan terpelajar. Meski kaku, Yoshi gemar mengumbar senyum. Wajahnya biasa. Sorot mata tajam dan alis tebal adalah hal teristimewa yang dipunyai Yoshi. Kami –para siswa kelasnya- bisa menertawakan bagaimana Yoshi mencoba berkata dalam bahasa indonesia.

“Dia kaku tetapi lucu, ya?” temanku berbisik pelan, usai Yoshi mengucapkan ‘selamat pagi’.

“Benar, kalau diamati Yoshi tidak terlalu buruk juga,” yang lain ikut menimpali.

Enggak enak kalau Yoshi dengar,” kusela sambil meneliti wajah Yoshi.

Kalau Yoshi sudah memegang tangkai bunga, dia tampak begitu gembira. Keterampilan menekuk, merangkai, dan mengaitkan satu bunga dengan yang lain sudah dikagumi banyak orang. Bunga-bunga yang sudah harum, makin manis ketika ditata indah dalam pot kayu meranti. Berlama-lama di galeri Yoshi adalah suatu kebahagiaan.

Apa yang dikatakan hati, kadang tanpa memerlukan bunyi tetapi selalu mampu dimengerti. Tiba-tiba ada kepak sayap lembut, saat Yoshi mendekati mejaku dan membenarkan rangkaian bungaku yang sedikit kurang rapi. Lavender terlalu tinggi. Pilihan daunku tak terlalu tepat.

“Seharusnya bunga lavender–nyamenjadi ratu. Jangan terlalu banyak daun,” Yoshi menjelaskan begitu dekat dengan tubuhku. Aku mencium eau de colongne segar dari batang lehernya. Bayi-bayi rambut berjajar menyesaki dahinya.

“Maaf, Yoshi!” jawabku terpotong-potong, membuatnya menoleh dan memusatkan perhatian ke wajahku.

“Wajahmu merah, Anna!”

Aku tidak bisa membayangkan seberapa merah wajahku. Hanya terasa panas. Kudongakkan wajah. Langit-langit warna putih polos.Kotak-kotak seukuran satu meter persegi, persis. Seolah sepi, hanya ada suara angin dari pendingin ruangan pelan.

Suara cekikian temanku menggema di telinga hingga kelas hari itu usai. Apa aku mulai suka dengan lelaki Jepang itu? Terasa sangat aneh memang.

***

Remaja berkaos dan celana olahraga sepadan, joging bersama seekor anjing. Penjual koran membuka lapak. Toko buku memasang diskon 30% untuk merayakan hari kemerdekaan. Sudah semakin siang. Pukul delapan sudah lebih beberapa menit di jamku. Seharusnya Marie sudah datang. Kulempar bungkus dan sisa makanan di tong sampah bergambar kartun warna kuning, yang berjarak tidak lebih dari sepuluh meter dari bangkuku.

Harus segera. Yoshi bisa jadi datang lebih awal dari jam biasanya.

Jangan sampai aku terpojok untuk kedua kali. Wajah tak bersalah Yoshi selalu bisa membuatku merasa bersalah. Termasuk ketika suatu sore dia mengungkapkan rasa sukanya. Yoshi ingin menjadikanku sebagai kekasih.

“Yoshi,” aku tidak pandai memilih kata-kata. “Aku tidak bisa menolak. Tetapi aku juga masih ragu,” tak berani kutatap wajahnya yang semakin terang diterpa sinar sunset keemasan.

“Anna, aku serius. Aku akan meminta izin orang tuamu. Aku ingin menikahimu dan mengajakmu ke Jepang.”

Itu sulit! Andai keluargaku tahu kamu orang Jepang, bisa jadi luka lama terkuak. Seperti luka borok! Ada sejarah kelam antara leluhurku dengan tentara negara Yoshi. Sejarah lama itu seperti racun yang belum ada penawar. Meski kejadian itu berjalan hampir tujuh dekade yang lalu.

Kuyakin perangai buruk tentara Jepang yang dahulu memorak-porandakan gadis-gadis Jawa tidak menurun ke Yoshi. Salah seorang adik nenekku menjadi satu dari yang hilang menjadi jugun ianfu. Nenek dan kakekku tidak terlalu suka dengan Yoshi. Prasangka buruk mengurung mereka.

Pagi ini aku terbaring dalam kenangan. Aku memang tidak bisa menolak Yoshi, apalagi menerima menjadi kekasih. Keluarga besarku tak menaruh simpati kepada Yoshi. Ketika tahu Yoshi orang Jepang, keluargaku berang. Meski kujelaskan, tetap saja sejarah kelam jugun ianfu, menyisakan lubang di hati mereka. Sedang Benny, kawan kuliah dulu, sudah lama menaruh suka kepadaku. Ketika Benny bilang suka dan memintaku menjadi istrinya, aku tidak memiliki alasan logis untuk menolaknya. Undangan pernikahanku dengan Benny, kukempit rapat. Kuserahkan kepada Yoshi tanpa harus bertatap muka dengannya.

Galeri Yoshi masih kedinginan. Lampu kecil dekat pintunya masih menyala. Sepertinya Marie lupa mematikan. Bagaimana Yoshi merespon, selalu kukhawatirkan. Dia tentu akan kecewa mendalam. Maafkan aku, Yoshi. Aku tidak bisa mengubah semua putusan ini.

“Anna!”

Aku kaget, suara lembut itu menyapaku dari belakang.

“Marie. Kamu belum buka?”

Marie menenteng tas kain motif bunga kecil. Kardigan warna merah tua dikancingkan kuat.

“Aku baru saja mengantarkan Yoshi.”

“Ke mana?”

“Yoshi pulang ke Jepang. Masa mengajar di Indonesia sudah selesai. Akan digantikan dengan pengajar baru. Ayumi tidak kalah hebat dengan Yoshi.”

Tiba-tiba kurasakan ada yang berguguran di hatiku. Apa aku juga tidak diizinkan menikmati wajahnya untuk terakhir kali? Kuhela napas. Masih ada baiknya. Aku tidak harus bertemu dengan Yoshi.

Aku diam. Sepagi ini galeri akan menguarkan aroma sisa Yoshi. Yoshi sudah meninggalkan Indonesia. Aku tidak tahu kapan dia kembali. Di dadaku ada ruang milik Yoshi. Belum kuputuskan apa akan kuhapus atau kupatenkan.

“Bus sudah menungguku. Aku ingin memberikan undangan ini kepada Yoshi. Sepertinya terlambat.”

Aku berjalan cepat menuju pemberhentian bus terdekat. Kutinggalkan Marie kebingungan. Sejarah terulang! Yoshi gantian menjajahku dengan kepungan rasa bersalah. Yoshi janganlah kembali. Aku belum memikirkan alasan yang akan kupergunakan.(*)

 

Ikebana          : seni merangkai bunga dari Jepang

Jugun ianfu    : wanita-wanita pribumi yang dijadikan Jepang sebagai budak seks.

Leave a comment